Pages

Sabtu, 23 Oktober 2010

Sebuah Realita

Miris sekali.  Itulah kesan pertama  ketika menginjakkan kaki di ranah ibu kota tercinta ini.  Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menampakkan kegagahannya.  Beribu roda setiap detik berkelana di sudut jalanan.  Wajah-wajah sumringah berbaut kemeja nampak gagah.  Semua terlihat sangat berkelas serta intelek.  Kota ini penuh dengan berbagai gegap gempitanya kehidupan.  Bahkan bisa dikatakan sebagai surganya para shopaholic.  Mall-mall berkelas bisa ditemui dengan mudah yang menawarkan segala rupa yang cukup menguras kantong.   Itulah kotaku saat ini, tempatku mengenyam ilmu dan bertahan hidup di tengah pertempuran arus kehidupan.
Ya, pastilah orang-orang bangga ketika menyaksikan gedung pencakar langit sebagai tempat tumbuhnya perekonomian di Indonesia.  Tapi, marilah kita menengok sejenak.  Di balik keindahan serta keteraturan kota ini, masih ada saja hal yang membuat hati menjadi miris.  Lihatlah, betapa rumah-rumah kardus didirikan guna tempat berlindung dari terik dan hujan.  Ketika jembatan sebagai tempat penyebarangan digunakan sebagai tempat meminta belas kasih orang.  Bahkan, generasi penerus bangsa yang masih mengusap ingus dengan bajunya nampak sumringah berkeliaran  di jalan.  Lampu merah, pinggir jalan serta nomaden dari satu bis ke bis yang lainnya, adalah keseharian mereka.  Nampak jelas luka dalam setiap mimik wajah yang diperlihatkannya.  Sebait lagu dengan alunan musik kaleng bekas lah menjadi media menarik animo.  Berharap sekeping receh dimasukkan ke kantong plastik bekas permen dari tangan-tangan yang simpati atau bernaluri.  
anak-anak jalanan
Apakah kalian melihat semua itu, kawan?  Mereka menangis bahkan berteriak memekikkan keadilan.  Bukan saatnya mereka turun ke jalan, melainkan menuju ke suatu tempat dimana ilmu disampaikan.  Yah, mereka memiliki hak sebagai warga negara untuk mengenyam pendidikan.  Namun, lagi-lagi, pendidikan hanya menjadi sebuah impian yang senantiasa dipendam.
Lalu, masihkah kita akan melihat ke atas, ke gedung-gedung pencakar langit itu?  Sedangkan masih banyak rumah-rumah kardus di pinggir kali yang berteriak minta dikasihani?  Sebuah realita yang cukup menggelitik negeri ini.  Mari kita berefleks kepada diri sendiri.  Lalu, gerakkan tangan dan nurani demi kedamaian dan kesejahteraan negeri tercinta ini.

6 komentar:

Unknown mengatakan...

duhh, mau bilang apa y...
kalau semua begini adanya, saya rasa di sini dituntut kesadaran kita yang amat tinggi untuk menolong satu sama lain. karena dari sisi agama juga mewajibkan kita untuk menolong kaum yang lemah sebagaimana dibicarakan dalam konteks di sini. hanya saja, qt tidak bisa langsung menyalahkan orang-orang yang kaya itu, biar bagaimanapun mereka telah berusaha mencari nafkah untuk keluarga dan kehidupan mereka.

di lain sisi, para peminta sebaiknya tidak bergantung kepada tadahan tangan dan musik krecek, mereka juga diwajibkan untuk berusaha. karena agama juga sangat membenci orang-orang yang hanya meminta dan tidak mau berusaha.

intinya, mereka semua (kaya dan miskin) harus tetap pada jalur mereka dan tidak melanggar hak satu sama lain, dengan melaksanakan kewajiban tanpa ada rasa menyerah untuk nasib yang lebih baik.

:) :) :)

Muhammad Zaenudin mengatakan...

Mba,
in my humble opinion i wanna say that,
i would like to see from the other perspective.
why we are always blamed that the government or we as an individual that are always wrong in case the education of those people in the street.
why we have not ever seen from their background.
most of them are lazy people who just wanna get the easiest way to get money.
most of them are also the beggar who don't wanna go to school even the government has made the school fee is free?
would you like to assert me from your perspective, maybe we could share opinions to each other Mba?
or maybe you would like to give me link that explain the answer of my questions. :D

an.pane mengatakan...

hi... i have read your article but i think all comments above have reflected what i want to share. i just want to say that i like the way you choose the words to make description.. :).. Do you like writing stories?

Isti Subandini mengatakan...

@ ipin:
iyaa ipin, we need to respect each others. Everyone has their own condition whether they are rich or not..
respect and tolerance. and i think, if we can help them, it will be a good action :)

Isti Subandini mengatakan...

@ zaen:
yeahh, actually i dont want to judge the government.
but look at the condition right now.. you said that school is free. but i think, it doesnt happen continually..

Isti Subandini mengatakan...

@ anpane:
panne, thank you so much.
yeaaah, actually i like writing..
but it happens when i have leisure time :)

Posting Komentar

Sabtu, 23 Oktober 2010

Sebuah Realita

Miris sekali.  Itulah kesan pertama  ketika menginjakkan kaki di ranah ibu kota tercinta ini.  Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menampakkan kegagahannya.  Beribu roda setiap detik berkelana di sudut jalanan.  Wajah-wajah sumringah berbaut kemeja nampak gagah.  Semua terlihat sangat berkelas serta intelek.  Kota ini penuh dengan berbagai gegap gempitanya kehidupan.  Bahkan bisa dikatakan sebagai surganya para shopaholic.  Mall-mall berkelas bisa ditemui dengan mudah yang menawarkan segala rupa yang cukup menguras kantong.   Itulah kotaku saat ini, tempatku mengenyam ilmu dan bertahan hidup di tengah pertempuran arus kehidupan.
Ya, pastilah orang-orang bangga ketika menyaksikan gedung pencakar langit sebagai tempat tumbuhnya perekonomian di Indonesia.  Tapi, marilah kita menengok sejenak.  Di balik keindahan serta keteraturan kota ini, masih ada saja hal yang membuat hati menjadi miris.  Lihatlah, betapa rumah-rumah kardus didirikan guna tempat berlindung dari terik dan hujan.  Ketika jembatan sebagai tempat penyebarangan digunakan sebagai tempat meminta belas kasih orang.  Bahkan, generasi penerus bangsa yang masih mengusap ingus dengan bajunya nampak sumringah berkeliaran  di jalan.  Lampu merah, pinggir jalan serta nomaden dari satu bis ke bis yang lainnya, adalah keseharian mereka.  Nampak jelas luka dalam setiap mimik wajah yang diperlihatkannya.  Sebait lagu dengan alunan musik kaleng bekas lah menjadi media menarik animo.  Berharap sekeping receh dimasukkan ke kantong plastik bekas permen dari tangan-tangan yang simpati atau bernaluri.  
anak-anak jalanan
Apakah kalian melihat semua itu, kawan?  Mereka menangis bahkan berteriak memekikkan keadilan.  Bukan saatnya mereka turun ke jalan, melainkan menuju ke suatu tempat dimana ilmu disampaikan.  Yah, mereka memiliki hak sebagai warga negara untuk mengenyam pendidikan.  Namun, lagi-lagi, pendidikan hanya menjadi sebuah impian yang senantiasa dipendam.
Lalu, masihkah kita akan melihat ke atas, ke gedung-gedung pencakar langit itu?  Sedangkan masih banyak rumah-rumah kardus di pinggir kali yang berteriak minta dikasihani?  Sebuah realita yang cukup menggelitik negeri ini.  Mari kita berefleks kepada diri sendiri.  Lalu, gerakkan tangan dan nurani demi kedamaian dan kesejahteraan negeri tercinta ini.

6 komentar:

  1. duhh, mau bilang apa y...
    kalau semua begini adanya, saya rasa di sini dituntut kesadaran kita yang amat tinggi untuk menolong satu sama lain. karena dari sisi agama juga mewajibkan kita untuk menolong kaum yang lemah sebagaimana dibicarakan dalam konteks di sini. hanya saja, qt tidak bisa langsung menyalahkan orang-orang yang kaya itu, biar bagaimanapun mereka telah berusaha mencari nafkah untuk keluarga dan kehidupan mereka.

    di lain sisi, para peminta sebaiknya tidak bergantung kepada tadahan tangan dan musik krecek, mereka juga diwajibkan untuk berusaha. karena agama juga sangat membenci orang-orang yang hanya meminta dan tidak mau berusaha.

    intinya, mereka semua (kaya dan miskin) harus tetap pada jalur mereka dan tidak melanggar hak satu sama lain, dengan melaksanakan kewajiban tanpa ada rasa menyerah untuk nasib yang lebih baik.

    :) :) :)

    BalasHapus
  2. Mba,
    in my humble opinion i wanna say that,
    i would like to see from the other perspective.
    why we are always blamed that the government or we as an individual that are always wrong in case the education of those people in the street.
    why we have not ever seen from their background.
    most of them are lazy people who just wanna get the easiest way to get money.
    most of them are also the beggar who don't wanna go to school even the government has made the school fee is free?
    would you like to assert me from your perspective, maybe we could share opinions to each other Mba?
    or maybe you would like to give me link that explain the answer of my questions. :D

    BalasHapus
  3. hi... i have read your article but i think all comments above have reflected what i want to share. i just want to say that i like the way you choose the words to make description.. :).. Do you like writing stories?

    BalasHapus
  4. @ ipin:
    iyaa ipin, we need to respect each others. Everyone has their own condition whether they are rich or not..
    respect and tolerance. and i think, if we can help them, it will be a good action :)

    BalasHapus
  5. @ zaen:
    yeahh, actually i dont want to judge the government.
    but look at the condition right now.. you said that school is free. but i think, it doesnt happen continually..

    BalasHapus
  6. @ anpane:
    panne, thank you so much.
    yeaaah, actually i like writing..
    but it happens when i have leisure time :)

    BalasHapus

 
Copyright (c) 2010 Tea without Sugar. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.